Mitos di seputar cerita tentang keris
atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik,
barangkali hanya sedikit yang pernah beredar. Misalnya saja mitos
penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk
menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta
karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya,
atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah
pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya.
Truntum Parang (Foto: pitoyo.com)
Ya, sebagaimana keris, batik juga
mempunyai mitos-mitos yang melingkupinya. Motif sidoluhur yang
diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri
Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Ageng Selo itu adalah contohnya.
Motif sidoluhur (Foto: pitoyo.com)
Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh
Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai
dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi
masyarakat banyak.
Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses penciptaan motif parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
Tetapi ada pengkecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan.
Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaanm, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). “Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,” begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.
Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses penciptaan motif parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
Tetapi ada pengkecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan.
Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaanm, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). “Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,” begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.
Truntum Garuda (Foto: pitoyo.com)
Cerita lain menyebutkan, Paku Buwono III
juga seorang kreator motif batik. Dia memerintah pada masa penuh
guncangan pasca perjanjian Giyanti (1755). Seluruh pusaka dan batik
kraton telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran Mangkubumi. Dimulailah perang
dingin itu. Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja.
Batik Solo motif krambil sesungkil dan slobok yang dipakai para isteri
bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan dalam
kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif kawung yang
dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar
ejekan yang sangat menghina pada waktu itu.
“Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang,” kata Winarso Kalinggo.
Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) di Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. Hal itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif udan riris.
Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan).
Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turun-temurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit.
Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif kembang bangah. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo ).
Batik kembang bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada kapitalisme. Kembang bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, kembang bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.
Itulah beberapa cerita dan mitos di balik proses penciptaan motif batik. Terserah bagi kita untuk mempercayai atau tidak. Sumangga. (Hendro)
Sumber : Kabar Solo Raya
“Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang,” kata Winarso Kalinggo.
Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) di Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. Hal itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif udan riris.
Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan).
Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turun-temurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit.
Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif kembang bangah. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo ).
Batik kembang bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada kapitalisme. Kembang bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, kembang bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.
Itulah beberapa cerita dan mitos di balik proses penciptaan motif batik. Terserah bagi kita untuk mempercayai atau tidak. Sumangga. (Hendro)
Sumber : Kabar Solo Raya
Posting Komentar